Orang Mukmin Itu Bersaudara

Standar

cover-oktober-2016Persaudaraan merupakan hal yang sangat penting dalam agama Islam. Hal itu berhubungan erat dengan keimanan seseorang. Di dalam ajaran Islam, persaudaraan bukan hanya menyangkut hubungan antar dua orang atau lebih secara horisonal, tetapi juga menyangkut keimanan dan ketaatan seseorang terhadap Alloh ta’ala.

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Alloh, supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Al Hujurot: 10)

Di dalam ayat tersebut Alloh menggunakan lafadz ikhwatun (إخوة) untuk menyebut persaudaraan antar mukmin. Padahal lafadz ikhwatun dalam bahasa Arab berarti saudara kandung. Untuk menyebut persaudaraan dengan orang lain yang bukan saudara kandung, sepadan dengan kata persahabatan atau pertemanan, di dalam bahasa Arab digunakan lafadz ikhwanun (  إخوان ). Hal ini mengindikasikan bahwa berdasarkan tuntunan al-Qur`an, seyogyanya setiap mukmin itu menganggap dan memperlakukan mukmin yang lain sebagai saudara kandungnya sendiri. Hendaknya setiap mukmin senantiasa berusaha menumbuhkan, memupuk dan menjaga persaudaraan dengan mukmin lainnya layaknya ia melakukan upaya tersebut terhadap saudara kandungnya.

Apa yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan, memupuk dan menjaga persaudaraan?

Alloh ta’ala, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in, dan ulama telah memberikan pentunjuk sekaligus teladan bagaimana cara menumbuhkan, memupuk dan menjaga persaudaraan antar orang-orang yang beriman. Lanjutkan membaca

Belajar dari Ayah Ibrahim

Standar

cover-september-2016Saudaraku yang semoga senantiasa dijaga oleh Allah ta’ala. Pada kesempatan yang baik kali ini marilah sejenak kita menengok perjalanan hidup seseorang yang mendapat julukan “kekasih Allah” (khalilullah), seseorang yang menjadi bapaknya para nabi. Bahkan Allah ta’ala memuji beliau sebagai seseorang yang layak menjadi tauladan. Siapakah orang itu? Benar. Beliau adalah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

“Dan Allah mengangkat Ibrahim sebagai kekasih.” (An-Nisa`: 125)

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada (Nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia….” [al-Mumtahanah: 4]

Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dari kisah perjalanan hidup Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Namun pada kesempatan yang singkat ini, saya mengajak Anda untuk belajar kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam hal mendidik keluarga. Apa saja pelajaran tentang pendidikan keluarga yang bisa kita ambil dari perjalanan hidup Nabi Ibrahim ‘alaihissalam? Lanjutkan membaca

Makna Insyaallah yang Sering Disalahpahami

Standar

Kata “insyaallah” begitu populer bagi masyarakat Muslim di Tanah Air. Tak hanya dalam percakapan sehari-hari, salah satu kalimat thayyibah ini juga sangat sering kita dengar di media Cover Agustus 2016 Layoutmassa terutama tayangan televisi. Meski begitu, seperti biasa, kata ini sering diterima dan dipakai begitu saja tanpa menyesuaikan makna dan penggunaan yang seharusnya.

Kata “insyallah” kerap diucapkan untuk janji yang potensial dilanggar, komitmen yang tidak teguh, atau harapan yang tidak pasti. Meski lebih sering kita jumpai, bukan berarti semua itu tepat. Orang menyebutnya salah kaprah alias kekeliruan yang sudah menjadi kebiasaan.

Al-Qur’
an Surat al-Kahfi ayat 23-24 mengatakan: Lanjutkan membaca

Idul Fitri, Bukan Kembali Suci

Standar

Kesalahan PCover Juli 2016 Layoutenerjemahan

Sebagian orang menerjemahkan kata Idul Fitri ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘kembali suci’. Apakah penerjemahan tersebut benar?

Kata Idul Fitri berasal dari bahasa arab ‘id al-fihtr (عِيْدُ الْفِطْرِ).

Kata ‘id (عِيْدٌ) berarti hari raya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَبَا بَكْرِ، إِنَّ لِكُلَّ قَوْم
عِيْدًا
، وَهَذَا عِيْدُنَا

“Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap umat memiliki hari raya. Dan (hari) ini adalah hari raya kita”. (HR. Bukhari  dan Muslim)

Hari Raya Natal dalam bahasa arab disebut ‘idul milad (عيد الميلاد), artinya Hari Raya Kelahiran. Jadi ‘id bukan berarti ‘kembali’. Hari Raya disebut ‘Id karena hari tersebut dirayakan berulang-ulang setiap tahun. Selain Idul Fitri, umat Islam memiliki hari raya yang lain, yaitu ‘Id al-Adlha (عِيْدُ الْأضحى). Idul Adha berarti Hari Raya Hewan Sembelihan, bukan ‘kembali kepada hewan sembelihan’.  Lanjutkan membaca

Cahaya Ilahi di Bulan Ramadan

Standar

Cover Juni 2016Rasanya tak berlebihan bila kita sebut bulan Ramadan ini sebagai bulan penuh cahaya. Coba kita simak firman Allah di Surat An-Nur: 35,

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang penuh berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tidak hanya diterpa matahari dari timur saja atau dari barat saja (melainkan terkena matahari dari arah barat dan timur), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Lanjutkan membaca

Ada apa di Bulan Sya’ban?

Standar

Cover Mei 2016Termasuk salah satu kaidah yang dijadikan pedoman oleh para ahli ilmu adalah bahwa suatu masa (zaman) itu menjadi mulia karena adanya peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dalamnya. Berikut beberapa peristiwa yang terjadi pada bulan Sya’ban.

 

Pertama, pemindahan qiblat

Pada bulan Sya’ban terjadi pemindahan arah qiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah.

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاءِ , فَلَنُوَلِّيَـنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْـتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ …

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” ) QS. al Baqarah:144.)

Abu Hatim al-Busti menginformasikan bahwa umat Islam melaksanakan shalat dengan menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari terhitung sejak kedatangan Rasulullah ﷺ di Madinah. Dan Allah ta’ala memerintahkan umat Islam untuk shalat menghadap Ka’bah pada hari Selasa pertengahan Sya’ban. (lihat al-Jami’ lil-Ahkam al-Qur`an lil Imam al-Qurthubi, II/150) Lanjutkan membaca

Mencari Keberkahan Hidup

Standar

Cover April 2016Berkah ini sering kita jadikan tujuan hidup di samping mencari ridho Allah. Keberkahan membuat hidup kita menjadi bahagia. Di pesantren, kita diajarkan yang penting mencari berkah, bukan sekadar kepintarannya. Kalau sekadar pintar saja tetapi tidak berkah maka ilmu tersebut bisa menjadi malapetaka.

Orang tua kita juga memberi pesan agar dalam hidup, yang kita cari adalah berkah. Dan berkah ini tidak selalu berkorelasi dengan banyaknya harta yang kita miliki. Ada sebuah hadits yang sering dijadikan doa, terutama kepada pengantin yang seringkali dijadikan sebuah kutipan dalam undangan pernikahan.

 

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا
Artinya: “Semoga Allah memberi berkah untukmu, memberi berkah atasmu, dan menghimpun yang terserak di antara kalian berdua.” (HR At-Turmudzi)

Dalam kajian ilmu Nahwu kalimat “laka”, itu digunakan untuk hal-hal yang sifatnya menguntungkan atau menyenangkan. Kalau yang tidak enak, menggunakan kata “alaika”. Ternyata, bahasa laka dan alaika digunakan oleh Rasulullah dalam hadits tersebut supaya orang itu mendapat keberkahan baik dari hal yang enak maupun yang tidak enak. Semuanya ada nilai keberkahannya. Bagi sementara orang, keberkahan itu sesuatu yang enak secara fisik saja. Padahal bisa jadi, yang tidak enak itu lah yang sebenarnya menjadi berkah.  Lanjutkan membaca

Tepat Menyikapi Harta

Standar

Cover Maret 2016Sebagian orang beranggapan bahwa tasawuf yang menganjurkan seseorang untuk bersikap zuhud sebagai sumber dari kemunduran Islam, terutama secara ekonomi. Tudingan ini tak hanya keluar dari orang-orang di luar Islam tapi juga para pemikir terpandang muslim masa kini. Zuhud dimaknai sebagai sikap menjauh dari dunia, terasing dari keramaian, terbelakang, dan tak selaras dengan gaya hidup modern. Benarkah demikian?

 

Dalam Surat al-Qashash ayat 77, Allah subhânahu wata‘âlâ berfirman:

 

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

 

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash: 77) Lanjutkan membaca

Jihad Menumpas Musuh dalam Diri

Standar

Cover Februari 2016Begitu mendengar kata “jihad” orang kerap langsung mengasosiasikannya dengan perang fisik: kekerasan, persenjataan, pasukan musuh, dan serangan. Padahal, dalam Islam jihad dalam pengertian demikian tak menempati level tertinggi. Aktivitasnya pun diizinkan hanya dalam kondisi sangat mendesak. Lalu di manakah letak jihad melawan hawa nafsu (jihadun nafsi) yang disebut Rasulullah sebagai jihad paling agung; jihad yang gejolaknya kita rasakan hampir setiap detik? Saatnya kita merenungi diri.

Kisah pada zaman Rasulullah di sela-sela perang Khandaq ini dapat kita jadikan renungan. Saat itu umat Islam pernah ditantang duel Amr bin Abd Wad al-Amiri, dedengkot musyrikin Quraisy yang sangat ditakuti. Nabi pun bertanya kepada para sahabat tentang siapa yang akan memenuhi tantangan ini.

Para sahabat terlihat gentar. Nyali mereka surut. Dalam situasi ini Sayyidina Ali bin Abi Thalib (karramaLlâhu wajhah) maju, menyanggupi ajakan duel Amr bin Abd Wad. Melihat Ali yang masih terlalu muda, Nabi lantas mengulangi tawarannya kepada para sahabat. Hingga tiga kali, memang hanya Ali yang menyatakan berani melawan jawara Quraisy itu.

Lanjutkan membaca

Maulid Nabi & Tuntunan Ulama’

Standar

Cover Januari 2016Sebelum kami suguhkan beberapa pandangan Ulama tentang perayaan Maulid Nabi Muhammad ﷺ, terlebih dahulu perlu kami jelaskan beberapa permasalahan berikut.

Pertama, kami merayakan Maulid Nabi sepanjang tahun dan setiap saat setiap ada kesempatan, terlebih pada bulan Rabi’ul Awal karena bertepatan dengan bulan kelahiran beliau ﷺ. Kami merayakan Maulid Nabi karena kami merasa senang dan bahagia dengan kelahiran beliau dan karena kami mencintai beliau ﷺ . Kami mencintai beliau ﷺ karena kami adalah orang yang beriman.

Aneh jika ada orang yang mengaku beriman kemudian bertanya, “Bolehkah merayakan Maulid Nabi?” karena hal tersebut sama saja dengan bertanya, “Bolehkah berbahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad?”

Kedua, yang dimaksud merayakan Maulid Nabi adalah kegiatan berkumpul-kumpul untuk mendengarkan sirah kehidupan Nabi yang mulia, membaca shalawat kepada beliau, memberi makan dan memuliakan orang-orang faqir dan orang-orang yang membutuhkan, dan memasukkan rasa bahagia ke dalam hati orang-orang yang mencintai Nabi Muhammad ﷺ. Lanjutkan membaca