Pembakar Semangat Bukan Penghambat

Standar

10. Prof. Ali Aziz menyampaikan Taushiyah

Oleh: Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, M.Ag. Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya & Penulis Buku “60 Menit Terapi Shalat Bahagia”

Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(-Nya) (QS. An Nisa’ [04]:84).

Untuk menjelaskan ayat ini, Anda harus mengaitkan dengan ayat sebelumnya, khususnya QS. An Nisa’ ayat 74: “Dan sungguh di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan perang). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata, “Sungguh Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka.” Yang disebut dalam ayat 74 ini adalah penduduk Madinah yang bersikap dingin, bahkan secara terang-terangan menyatakan enggan memenuhi ajakan Nabi SAW ke medan perang Badar. Maka ayat ini turun untuk mengingatkan Nabi SAW agar tidak terpengaruh dengan sikap pasip mereka dan agar tetap berangkat perang sekalipun sendirian.

Betapa berat tugas dan tanggungjawab Nabi SAW. Ia tidak boleh mundur selangkahpun atau kehilangan semangat hanya karena ulah para pengecut. Sebab, tugas kepemimpinan dibebankan hanya kepada Nabi, bukan pada pundak orang lain. Menurut Ar Razi, ayat ini menunjukkan keperkasaan Nabi SAW, sebab andaikan tidak perkasa, tentu Allah SWT tidak menyuruh berangkat perang sendirian.

Nabi SAW juga dikenal sebagai tauladan dan pembakar semangat para sahabat. Anda tentu ingat ucapan Nabi SAW yang terkenal untuk menyemangati tentara perang Uhud, ”Jika seorang Rasul telah mengenakan pakaian perang, pantang baginya menanggalkannya sebelum Allah SWT menentukan siapa yang menang di antara dua pasukan.”

Ayat di atas juga ada kaitannya dengan QS. Ali Imran ayat 173 yang diturunkan Allah setelah perang Uhud. Pada saat itu, Abu Sufyan, tokoh pasukan kafir menantang Nabi untuk perang kembali tahun berikutnya. ”Baiklah, kita akan bertemu di medan Badar tahun depan insya-Allah,” jawab Nabi. Sebelum perang, Abu Sufyan menyuruh Nu’aim bin Mas’ud agar menakut-nakuti umat Islam bahwa 1.000 tentaranya siap menggilas mereka. Provokasi itu dilakukan Nu’aim dengan imbalan 10 ekor unta. Sebagian tentara muslim terpengaruh dan benar-benar menolak mengikuti Nabi. Melihat spirit para sahabat menurun, Nabi SAW bangkit membakar semangat mereka, ”Walladzi nafsi biyadihi (demi Allah yang menguasai diriku), saya akan tetap berangkat perang walaupun sendirian”. Nabi memanggil 70 pasukan yang setia dan berangkat ke perang Badar dengan membaca hasbunallah wani’mal wakil (cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah Pelindung Yang Terbaik).

Dalam Surat At Taubah ayat 40 disebutkan penyemangtan Nabi SAW kepada Abu Bakar r.a yang tinggal bersamanya di Gua Tsur selama 3 malam (1 Rabiul Awal tahun ke 53 dari kelahiran Nabi atau 24-09-622 M). Abu Bakar r.a ketakutan karena dari celah-celah gua, ia melihat kaki para algojo Mekah yang siap membunuh mereka berdua. Saat itulah, Nabi SAW menyemangati Abu Bakar r.a, “La tahzan innallaha ma’ana” (jangan cemas, sungguh Allah tetap bersama kita).

Bagaimana cara Nabi SAW menyemangati 3.000 prajurit yang sedang membangun benteng dalam perang Khandaq melawan 10.000 pasukan kafir pimpinan Abu Sufyan? Atas usul Salman Al Farisi, mualaf berkebangsaan Persia, Nabi memutuskan membuat parit (khandaq) memanjang di sebelah selatan Madinah dari ujung barat sampai ke timur. Dalam penggalian selama 6 hari (Syawal 5 H/627 M) tersebut, beberapa tentara melapor kepada Nabi adanya batu besar. Jawaban Nabi SAW sangat mengagetkan, “Ana naaazil” (saya sendiri yang akan memecah batu itu). Muhammad bin ‘Allan As Shiddiqy menyebut ucapan Nabi itu sebagai targhiiban lil muslimin (penyemangat untuk kaum muslimin).

Benar, berangkatlah Rasulullah dengan perut yang terikat selendang berisikan batu untuk menahan lapar, karena sudah tiga hari tidak makan apapun. “Blaaar.” Pecahlah batu itu atas pukulan Nabi. Pada pukulan pertama, ada cahaya dari arah kota Syam (Syiria). Pada pukulan kedua, cahaya memancar dari arah Persia, dan pada pukulan terakhir, ada sinar dari arah Yaman. Semua cahaya itu menandakan ketiga kota itu akan segera dikuasai umat Islam.

Jabir bin Abdillah r.a tidak tega melihat Nabi (60 tahun) kelaparan. Ia minta ijin untuk pulang sebentar. ”Apa ada makanan di rumah?.” Istrinya menjawab, ”Hanya sedikit gandum dan seekor kambing.” Jabir lalu menyembelih kambing itu dan menumbuk gandum untuk menjadi adonan roti. Jabir berlari dan membisikkan sesuatu di telinga Nabi, ”Wahai Rasulullah, tersedia sedikit makanan untuk tuan dan 1 atau 2 orang.” Nabi lalu memintanya agar memberitahu istrinya agar tidak menurunkan panci dan mematikan tungku sebelum ia datang. Ternyata, Nabi datang dengan seribu orang. “Mengapa kamu tidak memberitahu persiapan makanan kami yang terbatas?,” kata istri setengah marah kepada sang suami. Nabi SAW pergi ke dapur dan memercikkan sedikit ludah ke dalam panci, mengambil masakan itu dan menyuguhkan sendiri kepada para sahabat, sampai semuanya kenyang. Baru setelah itu, Nabi SAW menyuruh istri Jabir bin Abdillah r.a untuk membagikan makanan sisanya untuk semua kaum muslimin. Inilah mukjizat Nabi, sekaligus ketauladanan, kerendahan hati dan penyemangatannya untuk umatnya  (Disarikan dari HR Al Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah r.a).

Tahukah Anda, hanya 20 % ucapan orang yang membakar semangat. Sisanya (90%) mematikannya. Jika Anda memberi seseorang barang berharga, tapi ia tidak memiliki semangat, maka sisa-sialah pemberian itu. Sebaliknya, jika Anda tidak memiliki barang berharga untuk diberikan kepada anak Anda atau siapapun, Anda tidak perlu bersedih selama Anda mamberikan SEMANGAT kepadanya. (terapishalatbahagia.net)

Referensi: (1) Muhammad Hasan Al Hamshy, Qur’an Wa Bayan ‘Ma’a Asbabin Nuzul Lis Suyuthy, Darur Rasyid, Damaskus- Beirut, tt. (2) Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz 5, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 179 (3) M. Qureish Shihab, Al Misbah Vol 2, Penerbit Lenterera Hati, Jakarta, 2012, p. 643 (4) Ensiklopedie Islam (5) Majalah Aula No.2 Februari 1999, p. 46 (6) Ahmad Hadi, Persinggahan Para Malaikat, Penerbit Mizan, Bandung 1993, p. 25-33 (7) Moh. Ali Aziz, Bersiul di Tengah Badai, UIN Sunan Ampel Press, Surabaya, cet. I, 2015. (8) As Shiddiqy, Muhammad bin ‘Allan, Dalilul Falihin, Darul Kutub Al Ilmiyah, Bairut Libanon, tt.  (9) Al Nawawy, Abu Zakariya, Yahya bin Syaraf,  Riyadush Shalihin,  CV. Thoha Putra, Semarang, 1981.

 

Tinggalkan komentar